Integrasi Seni dan Pendidikan dalam Project Based Learning

Tulisan ini sudah dipublikasikan di newsletter Kalbis Institute

‘“tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Ki Hadjar Dewantara


Ketika mendapat kesempatan untuk menulis di newsletter Kalbis yang diberikan oleh Kaprodi DKV, Saya langsung melihat apa saja isinya. Menarik membaca tulisan Anjar Dwi Astono tentang Project Based Learning Dalam Perspektif Pembelajaran Daring. Mungkin kita sudah biasa mendengar PjBL (Project Based Learning) dan mungkin saja banyak dari dosen atau guru sudah menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Tapi pernahkah kita menyadari bahwa peserta didik sangat perlu menjadi subjek dalam Project Based Learning?


Sekolah selalu menjadi tempat distribusi pengetahuan yang utama, selama ini transfer pengetahuan terjadi dari atas ke bawah, dari dosen ke mahasiswa, dari guru ke murid. Guru selalu menjadi sumber utama pengetahuan yang serba tahu, serba bisa sesuai dengan bidang masing-masing dan peserta didik selalu jadi obyek pembelajaran, mereka terus menerima apa yang diberikan gurunya dan kadang mereka tidak butuh pengetahuan tersebut. Siswa dianggap selalu membutuhkan pengetahuan sekaligus dianggap tidak memiliki pengetahuan dan dilakukan setiap harinya, Mereka hanya perlu membaca, menghafal dan mengulanginya lagi saat ujian hingga mengharuskan untuk mendapat nilai diatas standar yang sudah ditentukan. Hal tersebut membuat daya kritis mereka menjadi tumpul dan hilangnya makna belajar. Lebih parahnya lagi, paradigma pembelajaran seperti itu membuat peserta didik terpisah dari dunianya, berjarak dari sekitarnya. Dan mereka hanya mengejar prestasi semata tanpa memikirkan sekelilingnya. Seolah mereka dibuat seperti ‘robot’ yang di program oleh penciptanya.

Pokok pandangan filsafat pendidikan harus bermuara pada tokoh nasional. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara yang dikutip diatas dimaknai bahwa pendidikan pada dasarnya ialah menjadikan siswa/i sebagai manusia dan mengambil bagian sebagai anggota masyarakat. Pandangan tersebut sejalan dengan Prof. N. Driyarkara tentang pendidikan yang mana pendidikan merupakan pemanusiaan manusia muda : hominisasi dan humanisasi. Dengan kata lain pandangan pendidikan ini menyatakan bahwa hidup tumbuhnya peserta didik itu di luar kecakapan dan kehendak dari kaum pendidik. Perlu adanya transformasi peran pendidik yang mana bila merujuk pada semboyan pendidikan bangsa Indonesia adalah “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani”. Sebagai pendidik baik itu guru maupun dosen kita hanya perlu memberikan inspirasi dengan laku kita, dengan praktik kita sebagai profesional di bidang masing-masing, selain itu kita perlu menyiapkan ekosistem pendidikan yang ideal seperti memperluas jaringan kita sehingga menambah sumber belajar yang diperlukan peserta didik, memantik pandangan-pandangan kritis terhadap lingkungan sekitar sebagai cara untuk mendekatkan siswa/i atau mahasiswa/i dengan dunia dan yang terpenting adalah menguatkan kehendak mereka agar proses pembelajaran bersama menjadi bermakna.

Paradigma Seni Hari Ini

Perkembangan seni selalu sejalan dengan realitas, seni selalu menjadi refleksi fenomena dan gejala dunia ini. Hal tersebut disebabkan karena seni selalu mengakar pada manusianya dan manusianya terus berubah secara dinamis. Membaurnya seni dengan disiplin ilmu lain dan setiap orang mampu menjadi seniman hari ini. Sejalan dengan pandangan seniman asal Jerman Joseph Beuys yang mengatakan bahwa setiap orang adalah seorang seniman yang bebas untuk mengubah dan membentuk kondisi itu kembali dan berhak untuk memberikan informasi untuk kehidupan kita. 


Pandangan seni ini merupakan salah satu cara pandang seni rupa kontemporer. Seniman sudah tidak lagi perlu memposisikan seni sebagai sebuah konsep yang adiluhung jika tidak mampu memberi dampak ke masyarakatnya seperti pandangan seni di masa modern. Seniman, karya seni dan masyarakat sudah perlu tidak lagi berjarak, karena karya seni merupakan bagian dari masyarakat. Karya seni sudah seharusnya memantik kesadaran kritis masyarakat terhadap dunianya. Dan lebih baik lagi jika masyarakat mampu menggunakan daya kritis seni untuk membaca persoalan di sekitar, agar hal tersebut menjadi bagian yang integral. 

Kesadaran agar lebih peka terhadap situasi lingkungannya sendiri, karena di era yang serba carut-marut ini praktik tersebut perlu dilakukan, walau tidak memberikan efek secara langsung kepada masyarakat.  Hal yang utama jika kesadaran tersebut bisa dilakukan dengan seni adalah makin terbukanya ruang dialog antara masyarakat dengan fenomenanya. Setidaknya muncul gagasan untuk mengurai fenomena yang ada di sekitar.

Salah satu peran seniman hari ini adalah memfasilitasi dan berkolaborasi dengan masyarakat  agar mampu melihat kondisi lingkungan sekitar, cara pandang seni yang melihat segala sesuatunya dari segala arah juga menjadi metode dalam berpraktik bersama masyarakat. Metode tersebut tentu saja sangat tidak bergantung pada prinsip tertentu, metode tersebut sangat cair dan sangat tergantung dengan kontek sosial, budaya, politik dari masyarakatnya. 
Hal tersebut juga sesuai dengan cara pandang Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan. Bagaimana pembelajar perlu peka terhadap konteks lingkungan sekitar dan menghubungkan pengetahuan yang ada di kelas dengan lingkungan sekitarnya atau terlebih belajar dari lingkungan sekitarnya. Salah satu tugas pendidik berperan sebagai fasilitator yang mengorkestrasi pembelajar untuk bisa peka terhadap lingkungan sekitarnya dan mampu menggunakan pengetahuannya untuk bisa cair terhadap lingkungannya. Hal ini sejalan dengan cara pandang Ki Hajar Dewantara yang mana bersatunya pikiran, perasaan dan kehendak yang menimbulkan daya, daya yang mampu membaca lingkungan sekitarnya, daya yang mampu merespon fenomena sekitarnya dan daya yang mampu berkontribusi terhadap masyarakat dan lingkungannya. 


Integrasi Seni dan Pembelajaran


Seni dan pendidikan selalu berjalan berdampingan, merujuk dari paparan yang disampaikan sebelumnya, terdapat beberapa kesamaan cara berpikir antara seni dan pendidikan. Project Based Learning sangat perlu disampaikan pada siswa/i atau mahasiswa/i, seperti tulisan yang disampaikan Anjar Dwi Astono pada newsletter Kalbis sebelumnya. Bahwa model pembelajaran semacam ini perlu dilakukan agar proses kebermaknaan pembelajaran dapat berdampak pada siswa/i atau mahasiswa/i dan yang terpenting lingkungan sekitarnya. Namun lebih penting lagi semua proses pembelajaran itu harus bermuara pada siswa/i dan mahasiswa/i agar proyek pembelajaran sesuai dengan konteksnya.


Hari ini seni menjadi sebuah medium untuk mempresentasikan hasil dari riset yang dilakukan senimannya. Proses Project Based Learning juga perlu diartikulasikan dalam bentuk presentasi artistik, tidak terbatas dalam bentuk karya-karya seni konvensional saja, namun perlu bisa berupa apapun sesuai dengan target audience, dampak dan ruangnya. 3 faktor tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan bentuk artikulasinya. Mungkin pembahasan ini perlu saya jelaskan lagi dilain kesempatan.