Fenomena Seni Digital dan Digitalisasi Seni di Indonesia Hari Ini.

Seni berkembang seiring dengan perkembangan peradabannya, hal tersebut ditandai dengan penemuan teknologinya itu sendiri. Hal ini sudah diungkapkan sejak tahun 1967 oleh profesor asal Kanada yang memiliki fokus pada teori media Marshall McLuhan. Sejak salah satu perusahaan elektronik tersebesar asal Jepang Sony menggeluarkan kamera perekam Sony Portapak kepada masyrakat secara masal, hal tersebut menjadi salah satu ditandainya perkembangan seni video oleh Nam June Paik seorang seniman video asal Korea Selatan. Hingga hari ini perkembangan seni turut menggiringi pesat teknologi yang semakin mutakhir, terlebih teknologi digital yang semakin tidak ada habisnya dan membuat perkembangan seni terhadap digitalisasi terus pesat berkembang.

Indonesia, merupakan salah satu negara yang besar dalam hal mengkomsumsi teknologi. Negara yang menjadi sasaran empuk untuk menjual produk-produk teknologi digital ataupun non digital oleh negara-negara penemu. Kita bisa lihat, perkembangan smartphone yang tidak ada habisnya, tidak ada habisnya juga masyarakat mengkomsumsi benda tersebut, dari produk dengan kelas yang bergengsi hingga produk sekelas buatan China sekalipun, Mulai dari masyarakat kelas atas bahkan jetset hingga masyarakat akar rumput. Dengan alasan untuk mendapatkan arus informasi dengan cepat dan luas atau hal yang lain. Banyak sudah fenomena-fenomena yang terkait hal ini di masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan sebuah kesempatan emas kepada seni yang berbasis digital, dan juga hal ini mempengaruhi perkembangan seni dengan basis digital. Agan Harahap seorang seniman yang menggunakan pendekatan medium fotografi untuk menyampaikan gagasannya dalam berkaryanya telah berhasil masuk untuk mengintervensi secara digital pandangan kita terhadap dunia. Bahwa kita merasa dengan bayang-bayang analog sebuah foto merupakan bukti otentik yang mampu menceritakan, menunjukan atau arsip dari sebuah peristiwa, tapi berkat manipulasi digital yang dimanfaatkan oleh Agan Harahap, hal tersebut berubah menjadi manipulasi kenyataan yang diterima oleh publik. Menjelang Pilkada putaran pertama Provinsi DKI Jakarta lalu, sempat ramai di sosial media mencuatnya foto salah satu calon Gubernur foto bersama lawan politiknya (bukan salah satu pasang calon Gubernur) yang juga seorang pimpinan organisasi mayarakat berbasis Islam berjabat tangan dengan akrab. Foto tersebut sempat menjadi trending di sosial media, lantaran seperti yang kita tahu, kedua orang tersebut sempat bersitegang. Dan hasil karya foto tersebut berhasil memancing emosi pendukung habib tersebut dan menyatakan bahwa foto tersebut hoax.

Gambar 1 Foto hasil karya Agan Harahap yang memanipulasi foto.
Sumber : http://bit.ly/2mmg17z

 

Produksi oleh media digital menghasilkan pandangan dunia yang berbeda dari perspektif yang diberikan oleh media analog (Adamson and Wilson 2016). Pernyataan tersebut menjadi refleksi kenyataan yang terjadi, yang disampaikan pada paragraf sebelumnya. Bagaimana media digital berhasil membuat pandangan kita dalam melihat dunia. Hal sudah sangat sering terjadi pada selebritis tanah air, Banyak foto vulgar para selebritis yang beredar di masyarakat saat berkembangan program manipulasi gambar, hingga foto-foto vulgar tersebut menjadi berita yang kita komsumsi di infotaiment setiap pagi dan sore hari. Ketika dikonfirmasi kepada selebritis yang bersangkutan, mereka kebanyakan menjawab foto tersebut adalah rekayasa. Hingga muncul seorang yang kita kenal sebagai “pakar telematika” yang sekarang menjadi kader salah satu partai politik di Indonesia. Istilah “pakar telematika” itu muncul seiring berkembangan fenomena manipulasi foto, belum sah nampaknya bila “pakar telematika” itu belum menyatakan pendapat terhadap foto tersebut. Pemberitaan terkait fenomena manipulasi foto merupakan salah satu berita yang digemari oleh masyarakat, hal tersebut membuat citra yang dihasilkan selebritis yang foto vulgarnya tersebar menjadi “nakal”. Memang fenomena ini sudah sering sekali terjadi, bukan hanya di Indonesia bahkan hampir di seluruh dunia. Terlebih lagi ada salah satu arus media yang mendukung, yaitu sosial media. Sosial media juga merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan seni yang berbasis digital. Mudahnya penyebaran melalui kanal tersebut, membuat beberapa seniman menjadikannya salah satu penyebaran karya-karya mereka. Salah satunya ialah The Ayankz yang mengilustrasikan kehidupan masyarakat hari ini di Indonesia dengan ringan dan menghibur. Proses distribusi yang dilakukan The Ayankz melalui sosial media instagram, sebuah media sosial yang berbasiskan pada gambar membuat pesan-pesan yang dihasilkan The Ayankz sangat mudah diterima oleh masyarakat, khususnya kaum muda-mudi. Wacana-wacana yang dihasilkan The Ayankz merupakan hasil dari riset dan pembacaan terhadap fenomena pergaulan anak muda. Mungkin terkesan renyah atau remeh temeh namun pembacaan dan distribusi yang dilakukan The Ayankz sangatlah berbasis pada media digital. Mulai dari pembuat ilustrasinya pun dilakukan dengan digital. Tidak hanya The Ayankz masih banyak model-model serupa yang mecuat di sosial media Instagram hari ini.

Gambar 2 Salah satu Ilustrasi The Ayankz. Sumber : http://instagram/@the_ayankz

Berdasarkan fenomena tersebut membuat pergeseran seni untuk hadir dan diterima dimasyarakat atas realitas yang ada di masyarakat. Dahulu pelukis menggambarkan realitas di masyarakat dan diungkapkan dalam sebuah lukisan, dan lukisan tersebut dipajang atau dipamerkan dalam sebuah pameran di sebuah tempat yang representatif dan layak. Sekarang seniman menggunakan teknologi komputer dengan perangkat lunak yang (mungkin) bajakan, menggambarkan realitas yang sedang terjadi dan dipamerkan dalam sebuah kanal yang jauh lebih banyak diakses oleh masyarakat dibanding sebuah pameran, dan kanal tersebut kita sebut dengan sosial media yang mana tidak ada batas ruang dan waktu untuk mengkasesnya. Sosial media yang kita rasakan sekarang ini merupakan salah satu budaya layar yang kita terima. Budaya layar pada umumnya membuat dekatnya masyarakat terhadap karya seni. Perubahan perilaku tersebut tercermin dengan perubahan perilaku kita sebagai masyarakat terhadap melihat realitas. Dan media baru sudah membuat kita mengubah dalam melihat realitas dan perilaku (Murti 2009). Bahkan fenomena semacam ini terbilang menjadi sebuah gerakan baru yang mungkin tidak perlu kita sebut ini menjadi sebuah gerakan seni rupa. Namun menjadi sebuah gerakan masyarakat yang berkembang dengan media digital dan teknologi informasi. Dan asumsi saya fenomena ini sudah melakukan apa yang disebut dengan digitalisasi seni, sama halnya dengan kitab suci yang sudah kita akses dengan cara digital. Lalu pertanyaannya adalah apakah digitalisasi seni (fenomena semacam ini) ini menjadi ‘afdol’ atau ‘sah’ dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang kita pahami dan yakini di Indonesia? apakah fenomena ini membuat bertambah buruknya pasar seni yang kita rasakan saat ini?

 

Bibliography

Adamson, Glenn, and Julia Bryan Wilson. Art in the Making Artists and their Materials from the Studio to Crowdsourcing. New York: Thames & Hudson, 2016.

Murti, Krisna. "Budaya Media Baru." In Esai Tentang Seni Video dan Media Baru, by Krisna Murti. Yogyakarta: IVAA, 2009.