Idealnya Seni Rupa Kontemporer

Menurut  pandangan saya

Seni rupa kontemporer adalah sebuah arena dengan banyak idealisme tentang seni rupa bertarung di dalamnya. Dari dahulu zaman PERSAGI hingga kini sebenarya benturan ideologi atau idealisme di kalangan seniman, pemikir seni, maupun para akademisi seni adalah hal yang tak berubah dan tetap berjalan di tempat. Kesemuanya untuk menuju kepada satu tujuan, medan seni rupa yang ideal untuk bangsa ini.

Toh pedebatan yang tidak sehat karena lebih banyak menolak, menghujat, dan mencibir gagasan dari pihak lainnya yang dianggap salah, tidak akan ada ujungnya. Anggaplah semuanya benar, memiliki nilai baik dan buruk. Nilai yang baik dipadukan dengan nilai lain yang juga baik, dielaborasikan, disinergikan sehingga menghasilkan nilai baru. Yang buruk, spontan saja ditolak, tak usah diungkit-ungkit, biarkan dia kembali ke tempatnya. Jikalau ada yang mengatakan tidak bisa seperti demikian, ya silahkan untuk terjebak memikirkan jalan keluar di dalam pikiran anda sendiri. Mungkin itulah kendalanya, sucinya seni yang menaungi para pelakunya juustru tak berusaha untuk dijangkau, melainkan kesemuanya terjebak di dalam paradigma benar-salah yang sebetulnya berada di dalam naungan kesucian seni secara luas, ia mencakup pula seni rupa.

Tulisan ini akan saya bagi ke dalam tiga bagian utama tentang seniman dengan proses berkaryanya, para penulis dengan penulisannya, dan juga pameran sebagai sebuah bentuk presentasi dalam seni rupa kontemporer.

Berkesenimanan

Semua jenis seni hasil ciptaan manusia, termasuk seni, adalah hasil dari pengolahan teknik dan material yang digunakan. Awalnya ia tercipta tanpa adanya kesadaran akan gagasan di balik penciptaannya. Namun seiring sadarnya manusia akan akal dan pikiran yang ada dalam dirinya, apapun hasil peradaban manusia termasuk seni, haruslah disadari alasan-alasan dibalik kehadirannya di dunia. Menyadari tentang segala hasil ciptaan, bukan berarti juga melupakan kehadiran si penciptanya, yang dalam seni pencipta itu disebut seniman. Seniman adalah pencipta sebuah karya seni dan ia paham betul seluk-beluk ciptaannya dari mulai material yang digunakan sampai pada teknik penggarapannya. Akan tetapi, terkadang ia tak terlalu mempedulikan mengapa ia harus menciptakan karya ini sedemikian rupa, juga apa alasan karyanya harus hadir dan hidup di dunia ini. Bila seorang seniman menyadari kesadaran akan penciptaan karyanya, maka hubungannya dengan karyanya akan semakin mendalam. Tak perlu jauh-jauh ia memahami karya seni dan proses penciptaan seniman lain, yang terpenting adalah memahami mengapa karyanya harus ia hidupkan. Setelah diri seniman sebagai individu yang menciptakan karya seni menyadari pentingya karya seninya untuk hidup, dan hubungannya dengan proses penciptaanya berkesinambungan, maka akan menghasilkan seniman dengan rupa karya seni yang khas. Karya seninya akan terlihat dan terasa unik, berbeda dari karya seni yang lain. Ia menjadi identitasnya ketika ia hadri dan bicara kepada publik luas dalam sebuah pameran.

Di sisi lain adapun seniman yang dengan sesama seniman lain membentuk sebuah kelompok seniman sebagai wadah mereka berdiskusi, mematangkan gagasan satu sama lain, dan berkarya seni bersama. Kebersamaan ini pun kadang menjadi longgar di saat masing-masing seniman memilih berpendirian teguh pada keyakinan seni pribadinya. Namun lambat laun, seiring makin seringnya mereka bertemu dan berdiskusi, akhirnya makin terbuka satu-sama lain dan pada akhirnya tujuan tujuan mereka lebih kepada tujuan kelompok. Akhirnya yang mereka diskusikan adalah menyoal kepada identitas kolektif apa yang mereka akan tunjukkan kepada publik. Bebas saja mereka memilih sesuai kesepakatan yang ada di dalam dan kesepakatan ini tak bisa diganggu-gugat kecuali mereka sendiri yang mengganggu-gugat. Mau mereka menampilkan karya yang konvensional, maupun dengan metode yang sedikit melampaui kebiasaan mereka, seperti melibatkan masyarakat dalam menggarap sebuah proyek kesenian bersama, adalah kesepakatan yang masing-masing anggota kelompok sepakati sebagai identitas berkesenian mereka. Sama halnya seperti seniman yang bergerak secara individu, seniman atau kelompok seniman yang bergerak kepada tujuan memasyarakatkan seni dengan menggunakan seni rupa sebagai metode pendekatan, tentu harus sadar pula bahwa diri mereka adalah seniman yang memiliki landasan berpikir tentang kesenian dan ingin mengedukasi publik tentang ilmu mereka itu.

Pada saat mereka mampu menyadarkan masyarakat untuk mendekati level pemahaman akan seni yang sama dengan mereka, maka disanalah dengan mudah mereka bisa menyatukan tenaga dan pikiran guna melaksanakan proyek berkesenian mereka. Tentu kesemuanya harus dibuat mendalam, tidak hanya permukaan, dan kesadaran akan seni sebagai sesuatau yang hidup dan mengisi kehidupan apapun disekitarnya harus mau tidak mau dilalukan. Mengedukasi masyarakat tentang seni bukanlah semata berapa banyak buku dan katalog pameran yang dibagikan kepada mereka untuk mereka baca, tapi bagaimana menyadarkan mereka bahwa hidup mereka akan terisi oleh seni. Inilah sinergi yang dibutuhkan agar seni merasuk dalam diri masyarakat. Saat masyarakat menyadari bahwa hidup mereka sedang dirasukki oleh seni, maka hidup mereka akan mengikutinya.

Tentunya mengedukasi masyarakat menggunakan seni rupa atau tentang seni rupa jangalah atas paksaan untuk mengubah. Biarkanlah proses itu berjalan secara alami. Sebagai inisiator, seniman atau kelompok seniman yang melakukan hal itupun jangan juga dibebani oleh pikiran harus membuat masyarakat mengerti tentang seni rupa. Dengan terus-menerus melibatkan masyarakat dalam sebuah proses berkesenirupaan, lama-kelamaan masyarakat pun semakin sadar tentang pentingnya seni rupa bagi kehidupan mereka. Seni, terutama seni rupa, akan menjadi bagian hidup dalam diri masyarakat, karena oleh si seniman bibit kecintaan terhadap seni rupa telah ditanamkan dalam hati masyarakat yang ia ajak berkolaborasi. Pemupukan ini pun harus dibarengi dengan penyiraman, penyiangan, dan perawatan sehingga menimbulkan kepedulian untuk melestarikan. Semua pada dasarnya, dilakukan sepenuh hati, murni untuk kehidupan seni itu sendiri. Bagaimana prakteknya? Dikembalikan kepada seniman masing-masing.

Penulis yang Menafsirkan Jiwa dalam Karya Seni dan Penciptanya

Sebagaimana kita tahu, karya seni adalah sebuah percikan jiwa senimannya. Ia diberi nafas dan hidup untuk pada akhirnya berbicara secara jujur kepada publik yang melihatnya. Agar publik lebih dekat dengan sebuah objek seni, dalam hal ini adalah karya seni rupa, maka diperlukan seorang sosok yang tidak sembarangan untuk membantunya. Sosok itulah biasa kita sebut kurator seni rupa atau kritikus seni rupa atau penulis seni rupa. Mereka-mereka inilah yang menyampaikan ilmu si seniman—yang terepresentasikan melalui karya seni rupa—dalam sebuah wacana yang dapat dibaca publik sebagai pedoman dan lebih jauh sebagai ilmu pengetahuan.

Baik kurator seni rupa maupun kritikus seni rupa yang bertugas menerjemahkan suatu bahasa rupa kedalam bahasa tulisan haruslah menyampaikan sesuai dengan apa yang ingin disampaikan si seniman melalui karya seni rupanya. Ia harus mampu menelusuri kedalam prose pentiptaan si seniman, kedalam psikologi si seniman, kedalam pikiran-pikiran si seniman, dan kedalam usaha-usaha atau perjuangan-perjuangan si seniman demi mewujudkan nilai estetiknya. Bagaimanapun metode penulisan seorang penulis seni rupa,haruslah ia menyentuh kepada hal-hal itu. Tak hanya berhenti kepada pembahasan mengenai isu tertetntu yang sebenarnya hanya latar belakang si seniman dalam berkarya. Kritikus seni rupa sebenarnya memiliki tugas lain menjelaskan tentang apa-apa saja yang terkandung dalam sebuah karya seni rupa, tentang nilai estetiknya. Tapi juga ia harus mampu memberikan masukkan atau rekomendasi kepada seluruh pelaku seni rupa yang ia kritik sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dan inginkan, bukan keinginan pribadi si kritikus yang ingin orang lain menuruti apa katanya, tapi sebenarnya yang ia sampaikan adalah keinginannya sendiri yang terpendam tapi tak bisa ia lakukan sehingga ia lontarkan kepada orang yang ia kritik sebagai sebuah “masukkan”.

Menafsirkan bahasa rupa kedalam bentuk tulisan memang dibutuhkan pengasahan ke arah dalam. Sama halnya seperi sosok seniman, penulis seni rupa juga harus mampu menggiring jiwanya kedalam jiwa seniman seperti bagaimana dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, tulisannya akan menjadi sebuah karya seni pula. Karena nilainya sama dengan kualitas nilai karya seni yang ia tulis. Kepekaan seorang penulis (baik kurator maupun kritikus) dibutuhkan untuk memetakan mana objek kesenirupaan (baik pameran maupun karya seni) sesuai dengan standar yang mereka yakini. Tentunya standar-standar itu berdasarkan ilmu yang mereka pelajari masing-masing dan bagaimana akhirnya ilmu-ilmu itu mereka olah dan kembangkan.

Kesimpulan

Dunia seni rupa kontemporer adalah dunia yang berwarna. Kadang ia dilihat sebagai medan perang ideologi, kadang ia dilihat sebagai sebuah taman eden yang membuat diri setiap manusia di dalamnya merasa nyaman. Persepsi seperti apapun tentang seni rupa tempo dulu maupun masa sekarang, teruslah seperti itu. Terkesan tak berubah atau jalan ditempat. Namun cobalah mengubah sedikit paradigma diri kita tentang suatu yang lebih dari itu,lebih dari hanya persoalan-persoalan, dan lebih daripada pertentangan. Seni rupa bukanlah sebuah objek permasalahan. Ia adalah sesuatu yang organis, hidup dan bernafas. Ia telah menyatu dalam diri manusia, di pelosok jiwa yang terdalam. Bisa dikatakan semua manusia cinta seni, dari hanya seni yang indah-indah, sampai seni yang canggih.

Mari kita lihat seni rupa dan nilai-nilainya sebagai sebuah kehidupan. Ia bisa dibawa ke ranah ilmu pengetahuan manapun baik filsafat maupun sosial. Intinya adalah perihal jiwa masing-masing pelakunya yang meminta pengakuan. Ia meminta untuk diterima, didukung, dan dipersilahkan untuk melanjutkan kehidupan. Bukan dikhiati, dimatikan, dan dimusnahkan demi satu pandangan atau faham tunggal mengenai idealisme tertentu tentang seni. Kita harus mengerti sifat universal seni yang hidup di dalam diri masing-masing seniman sesuai kapasitasnya atau porsinya. Bila seseorang lebih dirasukki lukisan mooi-indie dibanding lukisan Masriadi, tak bisa diarahkan untuk menyukai karya Tisna Sanjaya. Bila seseorang menyukai karya patung Michelangelo, jangan dipaksa-paksa untuk mengerti karya seni Duschamp. Toh kalau mereka sepenuh hati mencintai seni karena keluhuran nilai sucinya, mau bentuk seni apapun akan dihargai sebagai sebuah karya luhur yang canggih yang merupakan hasil intelektualitas manusia.

Tentu berat bila kita harus mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat luas agar terbuka kepada seni rupa sebagai sebuah ilmu pengetahuan luhur yang harus dihargai. Minimal dari para pelaku medan seni rupa kontemporer kita yang sedikit itu, haruslah sepenuhnya sadar akan nilai esensial seni yang luhur itu. Cara menyedarinya pun bermacam-macam, ada yang terus memutar otak untuk merangkai-rangkai jawaban atas keraguannya tentang teori-teori lain yang menjabarkan nilai-nilai seni, ada pula yang lebih menghayati keyakinan dirinya tentang nilai-nilai terdalam dalam dirinya tentang seni. Mau apapun caranya adalah hal yang normal sebagai manusia untuk mencari sesuatu yang ideal. Tentu yang ideal itu adalah nilai yang tidak dicari atau dituju sebagai tujuan akhir, tapi sesuatu yang harus didalami, diamini, disadari, dan diyakini, karena pada dasarnya ia sudah ada dalam diri masing-masing manusia.