Pengaruh Kota Jakarta Terhadap Pola Praktek Seni Rupa Kotemporer Di Dalamnya

Abstrak

Kota memberikan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakatnya. Mulai dari kondisi sosial budaya, politik hingga ekonominya. Hal ini memberi dampak dan pengaruh yang cukup besar terhadap pola produksi keseniannya. Seniman-seniman yang tinggal dan bekerja di Jakarta terpengaruh besar dengan lingkungannya. Termasuk organisasi seni yang ada didalamnya. Dalam konteks seni rupa kontemporer hal ini menjadi pembahasan yang cukup menarik dan menjadi konteks global dalam kontelasi perkembangan seni rupa global. Sebuah organisasis dengan nama ruangrupa menjadi salah satu kolektif seniman yang tumbuh dan berkembangan dengan kesadaran dan kondisi kota Jakarta, Dengan salah satu program Jakarta 32c yang menjadi salah satu perhelatan mahasiswa seni rupa di Jakarta mencoba untuk mengkritisi isu dengan Jakarta sebagai kota urban. Begitu dengan Angga Cipta, Seniman yang lahir dan berkembang di Jakarta menjadikan persoalan sosial budaya dan lingkungan kota Jakarta sebagai wacana yang menarik untuk dibahas dalam karya seni rupa kontemporer.

Cities have a significant impact on their communities. Starting from socio-cultural conditions, politics to the economy. This gives a considerable impact and influence on the pattern of art production. Artists living and working in Jakarta are greatly affected by the environment. Including art organizations that are in it. In the context of contemporary art this becomes quite interesting discussion and become a global context in the global art development contelation. An organization with the name ruangrupa became one of the collective artists who grew up and developed with the awareness and condition of the city of Jakarta. With one of the programs of Jakarta 32c which became one of the art student event in Jakarta try to criticize the issue with Jakarta as an urban city. Once with Angga Cipta, Artists who were born and developed in Jakarta make the social and cultural problems of the city of Jakarta as an interesting discourse to be discussed in contemporary art works.

Pengantar

Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam suku, agama, latar sosial dan etnis masyarakat didalamnya. Menurut UN Data tahun 2010 penduduk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sekitar 9 juta jiwa dengan luas area daratan sekitar 662 km2, Angka tersebut menimbulkan persoalan baru di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta menjadi sasaran empuk bagi mereka yang melakukan urbanisasi, dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik di Jakarta atau banyak dari kita yang mengenal “mengadu nasib di ibu kota”.

Hal tersebut kerap menimbulkan persoalan baru bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Persoalan lapangan pekerjaan hingga kriminalitas, permasalahan kepemilikan hingga lalu lintas sampai ke permasalah sosial budaya lainnya. Kencang laju dan tuntutan hidup di Jakarta membuat warganya harus berfikir ekstra, sebagai warga urban warga harus bisa menyiasati kebuntuan-kebuntuan, seperti siasat mencari atau membuka lapangan pekerjaan dan bertahan hidup, siasat untuk membuka ruang untuk dijadikan tempat tinggal, siasat untuk melewati lalu lintas yang begitu padat, siasat untuk mencari hiburan dan lain sebagainya. Fenomena-fenomena itu terus bermunculan dan kadang kala tenggelam seiiring berkembangnya zaman dan konteks kotanya.

 BAB I

Pendahuluan

Sebagai kota dengan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya yang pesat, Jakarta menerima segala bentuk kebudayaan baru atau gabungan kebudayaan. Dapat dilihat di Suku Asli Jakarta yaitu Betawi yang mana campuran multikultural dari beberapa suku seperti, China, Bugis, Melayu, Sunda, Arab hingga Portugis. Hal tersebut disebabkan karena letak geografis Jakarta yang berada di pesisir utara Pulau Jawa dan juga sebagai kota pelabuhan. Sebagai Ibukota negara Jakarta menjadi kota yang strategis dan hal tersebut yang membuat Jakarta sebagai kota yang metropolis. Pusat pemerintahan negara ini berada di Jakarta, Pusat perdagangan dan bisnis membuat warga Jakarta harus bersaing dengan sangat kuat untuk lebih unggul.

Sebagai kota metropolitan, Jakarta memberi dampak yang cukup besar terhadap medan sosial seni rupa di Indonesia. Pendirian Galeri Nasional Indonesia yang terletak di Jakarta Pusat memberikan legitimasi bahwa Jakarta sebagai tujuan seni rupa Indonesia, khususnya seni rupa kontemporer. Sebuah lembaga dibawah pemerintah yang beroperasi sejak 1999 ini menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk kemajuan dan perkembangan seni rupa Indonesia. Munculnya Taman Ismail Marzuki sebagai sebuah taman budaya yang didirikan pada era Ali Sadikin saat menjadi Gubernur pada tahun 1968 juga menjadi arena kesenian dan kebudayaan di Jakarta untuk masyarakat. Selain itu didirikan juga Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada tahun 1976 yang sekarang berganti nama menjadi Institut Kesenian Jakarta, yang mana berfokus pada perkembangan kesenian urban.

Pasca reformasi tepatnya pada tahun 2000 kolektif seniman dengan ruangrupa didirikan oleh Ade Darmawan, Hafiz, Lilia Nursita, Oky Arfie, Rithmi dan Ronny Agustinus, Dengan mengembangkan seni rupa kontemporer di Jakarta. Sebagai lembaga alternatif dan swadaya masyarakat, ruangrupa mencoba banyak eksperimentasi yang memwacanakan isu urban dan ruang publik. Dengan berbagai program yang mencoba melakukan laboratorium isu dari seni rupa kontemporer dan kontek budaya secara luas.

Sejak berganti nama menjadi Jakarta Biennale pada tahun 2009 dengan tema besar Jakarta, perkembangan seni rupa kontemporer di Jakarta terus didengungkan. Pada tahun 2014 didirikannya Yayasan Jakarta Biennale, sebuah lembaga idenpenden yang mendukung perkembangan seni rupa kontemporer. Selain perhelatan yang digelar 2 tahun sekali, Yayasan Jakarta Biennale juga mengembangkan program seperti, laboratorium kuratorial dan Program edukasi publik yang berusaha mendekatkan seni rupa kontemporer dengan publiknya.

BAB II PAPARAN DATA

A. Pelaku Seni Rupa Kontemporer di Jakarta

  • ruangrupa dan Komplotan Jakarta 32c

Banyak perubahan sosial yang terjadi karena faktor-faktor yang terjadi di Jakarta. Hal tersebut di tangkap oleh beberapa seniman yang tumbuh, berkembang dan bekerja di Jakarta. Sebagai kota metropolitan yang penuh dengan fenomena di dalamnya, menjadi pemicu berkembangnya seni rupa kontemporer di Jakarta dan sekitarnya. Sekelompok kolektif seniman yang muncul di tahun 2000 bernama ruangrupa menyikapi fenomena tersebut dengan beberapa gerakan kesenian mereka. Lahir pasca-reformasi membuat kolektif seniman ini bebas menyuarakan posisi mereka sebagai seniman yang bekerja di Jakarta.

Selain menjadi kolektif seniman, ruangrupa mencoba hadir ditengah mahasiswa seni yang ada di Jakarta dengan program Jakarta 32o C. Sebagai biennale seni rupa mahasiswa yang digelar pertama kali pada tahun 2004 di Galeri Nasional Indonesia, Program ini juga berperan sebagai agen kesenian dan kebudayaan di Jakarta, telah memunculkan beberapa seniman muda. Dengan format lokakarya mahasiswa dari berbagai kampus diundang untuk melakukan proses kreatif bersama, saling tukar pikiran, menyatakan pendapat dan merespon serta memahami isu kota sebagai ruang publik. Dengan bentuk presentasi pameran seni rupa, peluncuran buku, pertunjukan musik hingga seminar. Sejak program ini di mulai sejak 2004 hingga 2017 telah memfasilitasi beberapa seniman dan kelompok yang muncul di Jakarta, Seperti The Popo, Angga Cipta, Carterpaper serta masih banyak lainnya.

Dalam beberapa perhelatannya, selalu muncul wacana baru dihasilkan oleh pesertanya. Wacana yang merepresentasikan persoalan dan fenomena yang dirasakan masyarakat yang diwakili dengan beberapa peserta yang masih berstatus mahasiswa. Seperti persoalan lalu lintas, lapangan pekerjaan, persoalan kampus, persoalan urbanisasi, kriminalitas, pendidikan dan lainnya.

 

Tabel 1 Statistik Perhelatan Jakarta 32c. Sumber : http://jakarta32c.org/home/festival/statistik/

Menurut situs resmi yang dilansir Jakarta 322c, dalam 10 tahun terakhir peningkatan partisipan, jumlah karya yang dihadirkan dan respon publik terus meningkat. Dapat dilihat secara kualitatif dari program ini, ruangrupa sebagai agen budaya yang berusaha mendistribusikan informasi dan pengetahuan akan seni rupa kontemporer di Jakarta dinilai mengalami peningkatan walau belum bisa dikatakan berhasil sepenuhnya.

  • Angga Cipta

Selain ruangrupa, Angga Cipta atau yang lebih dikenal dengan Acip, salah seorang seniman yang lahir dan tumbuh di Jakarta membuat dirinya sebagai anggota masyarakat merasakan fenomena sosial yang terjadi di Jakarta menjadi proses kreatifnya. Karya-karya yang dihadirkan terkesan paradoksal, ironis dan humor menjadi penyegaran ditengah hiruk pikuknya Jakarta sebagai kota yang mertropolis. Aktif berkarya sejak tahun 2008, Angga Cipta sangat terpengaruh dengan keadaan lingkungan sosial budayanya yang saat beragam di kota Jakarta. Dengan latar belakang pendidikan sarjana pendidikan dari jurusan pendidikan seni rupa Universitas Negeri Jakarta.

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGI

  • Jakarta 32c dan Carterpaper

Persoalan lalu lintas menjadi daya tarik yang tersendiri bagi Jakarta, setiap harinya jutaan kendaraan lalu lalang melintasi serta memadati jalan di Jakarta, Pelanggaran dan kecelakaan pun terus bermunculan. Disamping itu, kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup kian meningkat, salah satu contoh fenomena yang masih ada hingga hari ini adalah tebar paku di jalanannya. Ada beberapa lokasi di jalan raya Jakarta yang menjadi titik rawan kejahatan tebar paku. Kejahatan ini disinyalir menjadi motif utama pelaku kriminal, setelah mereka menyebar paku di jalan mereka melakukan aksi perampokan dan perampasan kepada sang korbannya, biasanya kejadiannya ini dilakukan malam hari hingga fajar menjelang. Motif lainnya, banyak yang berasumsi sebagai tindak kejahatan untuk meraih keuntungan dari pengiat tambal ban disekitarnya, karena biasanya setelah beberapa lama pengendara merasakan banyak kempes, pengendara akan menemukan tukang tambal ban di lokasi yang berdekatan.

Gambar Temuan paku di jalanan oleh relawan. Sumber : tribunews.com

Fenomena ini yang menjadi proses kreatif sebuah kolektif seniman yang saat itu masih berstatus mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta dengan nama Carterpaper yang didirikan di Jakarta pada tahun 2006. Dengan praktik berkesenian di ruang publik, kolektif ini berkesempatan mengikuti lokakarya Jakarta 32o C yang diselenggarakan pada tahun 2008. Carterpaper menghadirkan persoalan ranjau paku yang saat itu baru muncul ke permukaan, Dengan merespon rambu lalu lintas yang ada dijalan, Carterpaper menghadirkan karya dengan pendekatan desain komunikasi visual berupa plang lalu lintas dengan simbol tebar paku disetiap titik yang dianggap rawan paku, seperti di daerah Cawang, daerah Monas dan lainnya. Hingga hari ini beberapa dari karya ini masih bertahan “memperingati” penggunan jalan di Jakarta. Dari karya tersebut, Carterpaper menghadirkan representasi kondisi masyarakat Jakarta, sebuah tindakan inisiatif bermotif kriminal di lawan dengan tindakan inisiatif dengan motif kreatif. Karya ini juga mengkritis pemerintah yang saat ini menjabat dan seolah mengabaikan fenomena yang sedang terjadi saat itu.

 

Gambar Salah satu dokumentasi karya Carterpaper. Sumber : ardiyunanto.com
  • Angga Cipta dengan Pola Jakarta

Dalam projeknya yang berjudul “Pola Jakarta” pria kelahiran tahun 1988 ini, mencoba melakukan pengamatan sebagai riset yang diterapkan dalam proses kreatif berkaryanya. Pola-pola hasil pengamatan yang dilakukan Acip menghasilkan beberapa buah ilustrasi. Ada beberapa fenomena yang menarik dalam karya ini, seperti fenomena kriminalitas, gaya hidup anak muda, fashion, agama, siasat warga, tradisi, kelakuan warga, kecelakaan lalu lintas dan masih banyak lagi yang merepresentasikan masyarakat Jakarta pada umumnya. Projek ini dilakukan dalam kurun waktu 2011-2013 dengan melihat beberapa fenomena yang masih terjadi beberapa tahun terakhir. Sejak era Gubernur Sutiyoso, beberapa jalan protokol di Jakarta memberlakukan sistem pembatasan penumpang, atau lebih dikenal dengan 3in1. Sebuah kebijakan untuk mengurangi kemacetan. Dengan pembatasan penumpang diharapkan para pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan transportasi publik, Hal tersebut disusul dengan berlakukannya transjakarta pada tahun 2003 sebuah moda trasnportasi publik yang menggunakan lajur khusus. Namun kebijakan 3in1 dilihat lain oleh warga Jakarta, warga melihatnya sebagai lapangan pekerjaan baru, yaitu sebagai jockey 3in1. Sebagian warga yang menyediakan jasa jockey 3in1 menawarkan dirinya di pinggir jalan menuju kawasan-kawasan yang diberlakukannya sistem 3in1 para pengguna kendaraan pribadi khususnya mobil melihat hal tersebut sebagai alternatif solusi untuk memasuki kawasan 3in1. Biasanya pengguna transportasi publik sendiri untuk menuju ke kantor, sehingga mereka harus menyewa 2 jockey 3in1. Dan ironisnya seorang jockey 3in1 membawa anak-anak rata-rata masih bayi untuk melakukan pekerjaan jockey 3in1. Hingga pada tahun 2016, saat Gubernur Basuki Tjahja Purnama atau akrab disebut dengan Ahok menghapuskan kebijakan ini yang dinilai mengeksploitasi anak dibawah umur dan menggantinya dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil-genap.

Gambar Fenomena jockey 3in1 yang membawa anak. Sumber : google.com

 

Fenomena tersebut direkam oleh Angga dan dimasukannya dalam karyanya “Pola Jakarta” dalam seri pekerjaan. Angga menjelaskan dengan seksama melalui gambar dan juga kata-kata. Kelak karya ini menjadi artefak fenomena pekerjaan yang pernah ada di Jakarta yang akan mengantarkan kita pada memori kolektif yang pernah ada di ibukota, karena dihapuskannya sistem 3in1.

Salah satu ilustrasi dari karya Pola Jakarta. Sumber : Dokumen Angga Cipta

Pada aplikasi penerapan karya “Pola Jakarta” ini Angga Cipta menggunakan medium buku sebagai presentasinya, dengan berbahan kertas dengan sangat mudah untuk di distribusikan. Selain itu Angga menggunakan medium popular lainnya seperti PIN, kaos, stiker dan lainnya sebagai merchandise, sehingga publik mudah untuk memilikinya.

Dengan pendekatan humor, publik diajak untuk menertawakan sejenak fenomena yang sedang mereka hadapi di kota besar seperti Jakarta. Pengamatan yang dilakukan Angga digambarkan dan dituliskan sebagai deskripsi dari sebuah fenomena, dengan kata-kata yang nyeleh Angga mendeskripsikan penggalaman dan kegusarannya dalam beberapa kalimat, beberapa dijelaskan dengan sebab-akibat dari fenomena itu sendiri.

Beberapa tahun terakhir, Jakarta diramaikan dengan fenomena Majelis-majelis pengajian yang diadakan oleh beberapa lembaga persaudaraan umat Islam. Utamanya pengajian tersebut menampilkan warga negara Indonesia yang keturunan Arab, yang sering disebut dengan Habib. Habib-habib tersebut menjadi daya tarik jamaah untuk menghadiri pengajian. Biasanya mereka datang dari pelosok JABODETABEK, dengan inisiatif dan swadaya masyarakat mereka berangkat menggunakan kendaraan pribadi, seperti motor kadang kala menggunakan kendaraan umum yang disewa untuk menghadiri pengajian tersebut. Yang menarik pada awal fenomena ini muncul di Jakarta mereka menggunakan atribut keislaman mereka dan mengendarai kendaraan sepeda motor tanpa menggunakan pelindung kepala dan membawa bendera majelis yang mereka ikuti, hal tersebut menarik perhatian Angga.

Dalam karya ini, Angga menyebutnya dengan kalimat yang cukup sarkastis namun terkesan menghibur. Tanpa tendensi diskriminatif, Angga membuatnya menjadi sebuah guyonan kritis yang terjadi sekarang ini. Peraturan baru yang dibuat Polda DKI sekarang, para jamaah wajib menggunakan pelindung kepala dan tidak menganggu pengguna jalan yang lain.

Salah satu ilustrasi tentang fenomena majelis pengajian. Sumber : Dokumen Angga Cipta

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penjabaran diatas, Dengan banyaknya fenomena dan persoalan yang terjadi di Jakarta dan desakan hidup yang begitu cepat. Membuat warganya mempersiapkan strategi-strategi alternatif untuk bisa bertahan hidup. Begitu juga dengan seniman yang tinggal dan merasakan ‘keras’nya hidup di Jakarta. Perlu ada strategi dan negosiasi dalam praktik berkesenian agar dapat merepresentasikan keadaan sosial-budaya yang terjadi dan mampu bersaing dengan derasnya laju pertumbuhan yang cukup besar di kota Jakarta. Seniman di Jakarta harus mempunyai inisiatif dan pola kerja yang beragam untuk mengkritisi keadaan dan fenomena, karena dalam istilah masyarakat “Jakarta Keras Bung!”

Untuk perkembangan seni rupa kontemporer di Jakarta khususnya, seniman-seniman lain perlu lebih kritis dalam menanggapi isu sosial-budaya, ekonomi, sejarah, politik dan geografis kotanya sendiri, karena dalam perkembangannya persolan-persoalan tersebut menjadi masukan dan kesadaran yang perlu dilakukan secara konteks yang lebih luas lagi.

 

Daftar Pustaka

Cipta, Angga. Pola Jakarta 100 kejadian yang menjadi pola hidup di Jakarta . Jakarta, 2013.

Christantiowati. “National Geographic Indonesia.” National Geographic Indonesia. Juni 13, 2011. http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/06/bermain-dan-berkarya-di-ruangrupa (accessed Oktober 17, 2017).

http://jakartabiennale.net/2015/sejarah-jakarta-biennale/ diakses 16 Oktober 2017

http://jakarta32c.org diakses 16 Oktober 2017

http://ruangrupa.org diakses 16 Oktober 2017