Menuju Seni pada Abad 21
Dalam perkembangannya seni berjalan seiringan dengan peradaban manusia. Banyak praksis yang memikirkan kembali seni dan menjadi siklus yang tidak ada ujungnya. Bila dilihat dari kajiannya, seni terdiri dari filsafat yang mempengaruhi teori seni dan estetika serta ilmu empiris yang menyumbangkan kepada estetika dan teori seni. Perkembangan pemikiran tentang estetika terus menerus dilakukan, mulai dari Plato hingga Ludwig Wittgenstein, dan hingga hari ini banyak pemikir, seniman dan praktisi lainnya yang terus menggali atau mewacanakan estetika dan seni pada umumnya. Begitupun dengan perkembangan seni sesuai dengan zamannya dari zaman pra-sejarah, baroque, neo-classicism, romantisme, impresionisme hingga zaman modern bahkan post-modern. Berbagai metode dalam seni muncul sebagai proses penciptaan untuk mendapatkan tujuan dari karya seni mulai dari mimikri, ekspresionis, seni sebagai bentuk, seni sebagai simbol hingga seni sebagai tanda. Dan sesuai zamannya seni terus berkembangan mulai dari zaman pra-modern hingga post-modern atau bahkan kontemporer sekalipun. Begitupun dengan isu atau wacana dalam karya seni, perkembangan mulai dari isu personal hingga isu global yang mewacanakan sosial-politik, ekonomi serta kebudayaan masyarakat secara lebih luas.
Pergerakan wacana geopolitik Dunia secara global. Semakin kuatnya gagasan globalisasi, globalisme dan global turn seringkali dipercayai berkaitan dengan gagasan mengenai ‘kontemporer’ secara mendunia. Globalisasi mempengaruhi peta konstelasi seni rupa Dunia yang mengarah pada wacana global. Bila diawal gagasan globalisasi secara artistik muncul dengan hadirnya garda-depan awal di Eropa dan selanjutnya terjadi di negara Amerika Serikat yang berakibat meluasnya perilaku artistik sampai di luar Amerika Serikat, dengan ditandai pusat yang berpindah dari Paris menuju New York. Kejadian politik seperti runtuhnya Tembok Berlin, berakhirnya politik apaertheid di Afrika Selatan dan demonstrasi pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen China telah membuat beberapa seniman pada dekade sebelumnya menginginkan kepada apresiator untuk menanyakan kondisi yang ada dan hubungan seni dan kebudayaan secara umum, kejadian politik Dunia ini memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali dari ideologi, subjektifitas dan kebertundukan, nasionalisme dan identitas post-kolonial.
Di Tahun 1989 ditandai dengan pameran Magiciens de la Terre yang diselenggarakan di Centre Georges Pompidou dengan kurator Jean-Hubert Martin. Pameran ini disebut dengan istilah global turn dalam dunia seni rupa global, Jean-Hubert Martin memilih seniman 50% dari Barat dan 50% non-Barat, dalam pameran ini mencoba menekankan gagasan kekontemporerannya. Selain itu munculnya beberapa biennale di beberapa kota seperti di Johannesburg pada tahun 1995, satu tahun setelah pemilu pertama multirasial di Afrika Selatan. Pada biennale yang dikuratori Enwezor mengangkat secara ekplisit seputar tema globalisasi. Setelah itu di Gwangju pada tahun yang sama dengan latar belakang pemilu demokrasi pertama yang sesbelumnya merupakan dekade panjang kediktatoran militer di Korea Selatan. Melihat fenomena tersebut merupakan tanda bagaimana isu globalisasi seperti sosial-politik dan ekonomi mempengaruhi medan seni rupa secara global.
Seni di Abad 21 dan Globalisasi
Hal diatas menjadi salah satu faktor pendorong perubahan paradigma di abad 21. Efek dari isu dan masalah global yang terus menerus mencuat memunculkan juga interaksi global. Dan perkembangan interaksi global tersebut menyebabkan perubahan sistem yang ter-dekontruksikan. Paradigma ini bersifat paradoksal, bersifat 2 arah atau istilah Prof Primadi menyebutnya dengan dualisme-dwitunggal. Berakhirnya Perang Dingin membuat konstelasi seni mengarah pada multikultur atau multiestetik, Barat bukan sebagai pusat, namun dunia Non-Barat pun mulai dilihat sebagai potensi baru. Yinka Shonibare seorang seniman kelahiran London mencatat bahwa globalisasi membuat kesempatan yang fantastis untuk seniman-seniman Non-Barat sebagai pengakuan medan seni rupa Internasional, Seperti, Havana Biennale yang digelar untuk menyoroti seniman dari Negara Dunia Ketiga ke panggung seni rupa global. Hal tersebut sangat diperlukan sebagai demokratisasi dalam dunia seni rupa global, bahwa pusat tidak dibentuk di Negara-Negara Barat saja, namun Negara Non-Barat perlu menjadi pusat dan berkontribusi dalam medan seni rupa global. Kontribusi yang dijadikan pengetahuan yang bersifat kolektif dan egaliter yang pada tingkat lebih tinggi lagi menjadi penggalaman kognitif untuk apresiatornya, seperti pernyataan Cynthia Freeland yang menyebutkan “bahwa karya seni merangsang kita untuk melihat dunia”.
Urgensi Seni dalam Realitas Kehidupan di Indonesia
Perubahan paradigma seni di abad 21, ditandai pula dengan karakter yang cukup kongkrit seperti seni membaur dari kehidupan. Perubahan ini seperti mengembalikan fungsi seni di zaman seni tradisi, yang mana seni menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Muncul nya interaksi seni tinggi (high art) dan seni rendah (low art). Seni yang berintergrasi dengan kehidupan diperkuat dengan kondisi pasca Perang Dingin, yang mana wacana yang dicoba diutarakan oleh seniman khususnya di Negara Dunia Ketiga, berkutat dengan isu indentitas, hal tersebut membuat karya seni menjadi sebuah pengetahuan kolektif yang terus dipertanyakan terus menerus, hal ini sejalan dengan pemikiran Hans-Georg Gadamer yang menyebutkan bahwa penggalaman estetis pada dasarnya adalah modus pemahaman diri.
Di Indonesia wacana seni tentang identitas, terlebih sebagai identitas budaya salah satunya dilakukan oleh seniman Tisna Sanjaya, dalam proses penciptaannya Tisna menggunakan tradisi yang mengakar dalam dirinya yaitu kesundaan sebagai salah satu proses berkaryanya, dalam istilah yang sering digunakan yaitu ‘seni adalah doa’. Dapat dicermati bahwa doa yang merupakan bagian keseharian dari kegiatan masyarakat masuk kedalam wilayah artistik oleh seniman. Dimana Tisna yang sering berpameran dalam kancah internasional menggunakan proses kreatif tersebut dan mendapat sambutan yang cukup hangat dalam event-event seni rupa Dunia, seperti Vennice Biennale pada tahun 2003.
Selain itu kelompok Jatiwangi Art Factory yang berbasis di Jatiwangi, Majalengka Jawa Barat juga menggunakan pendekatan konteks kelokalan sebagai metode berkarnya. Wacana identitas juga menjadi fokus dalam gagasan-gagasan projek yang mereka jalankan. Dalam proses kreatifnya Jatiwangi menggunakan pendekatan kepada warga sebagai proses kerjanya, Warga diajak untuk merasakan penggalaman estetis dengan tujuan membuka kemungkinan baru, membentuk identitas, kontemplasi dan mengkontruksi persepsi. Tidak hanya Jatiwangi Art Factory, Kerja-kerja partisipatif semacam ini juga telah dilakukan oleh beberapa komunitas atau agen-agen kebudayaan, seperti pada tahun 1985 Moelyono melakukan KUD (Kesenian Unit Desa) di Tulungangung yang sekarang dikenal dengan seni rupa penyadaran, sebuah projek yang melibatkan masyarakat desa dalam proses kerjanya. Selain itu Komunitas Hysteria yang juga menjadi salah satu penggerak kesenian di Kota Semarang dan sekitarnya menggunakan kerja partisipatif dengan masyarakat khususnya kalangan anak muda. Dan tentu masih banyak lagi pelaku kegiatan kesenian yang melibatkan masyarakat dan mewacanakan identitas sebagai penggalaman estetisnya.
Mengacu pada pemikiran seorang seniman periode fluxus kelahiran Krefeld Jerman yang mengatakan bahwa :
Every human being is an artist, a freedom being, called to participate in transforming and reshaping the conditions, thinking and structures that shape and inform our lives.
Bahwa setiap orang adalah seorang seniman yang bebas untuk mengubah dan membentuk kondisi itu kembali dan berhak untuk memberikan informasi untuk kehidupan kita. Pendapat tersebut senada dengan pemikiran yang disampaikan oleh Pauolo Freire seorang pakar pendidikan dan filsuf asal Brazil yang menawarkan pendidikan kritis, yang mana pendidikan itu adalah salah satu proses pencarian kebenaran dan alat untuk pembebasan diri. Bagi Freire yang dipengaruhi oleh pemikir-pemikir seperti Plato, Aristoteles dan Marxis. Freire yang merasakan bahwa sistem pendidikan yang selamat ini ia rasakan telah membelenggu pemikiran-pemikiran peserta didiknya, dia beranggapan bahwa sistem pendidikan Negara Dunia Ketiga seperti Brazil pendidikan mengasingkan diri masyarakat dari realitas kehidupannya dan menjadi alat bagi masyarakat untuk tunduk dan patuh terhadap pemerintah (Murtiningsih 2004). Kembali kepada Joseph Beuys yang berpikir bahwa karya seni itu sekilas seperti kehidupan itu sendiri, dia tidak ingin menciptakan karya seni yang abadi tetapi membuat memulai pemikiran orang tentang realitas (Reucher 2006). Pada kedua orang ini memiliki kesamaan yang cukup signifikan, yang mana karya seni menjadi sebuah proses pembelajaran atau informasi bagi masyarakat tentang realitas dan masyarakat berhak memikirkan kembali dan mempertanyakan realitas tersebut.
Pada urgensinya kegiatan seni semacam itu dirasa cocok untuk dikembangkan oleh agen-agen kebudayaan di Indonesia, karena disamping mendorong kegiatan partisipastif yang mengajak masyarakat untuk bisa memberikan kontribusi secara langsung dengan cara menyumbangkan pengetahuan kolektif dan menjadi bagian dari pengetahuan kolektif tersebut. Bagaimana praktik kerja semacam itu juga dapat mendorong kesadaran dari sebuah penggalaman. Penggunaan kesadaran manusia akan realitasnya atau yang disebut dengan fenomenologi. Seperti yang disebutkan oleh Edmund Husserl, fenomenologi merupakan metode sekaligus filsafat yang menggariskan langkah-langkah apa yang harus dimulai manusia sebagai kesadaran murni (Murtiningsih 2004). Dan dengan begitu seni menyumbangkan kontribusinya secara langsung kedalam penggalaman kognisi kepada pelaku dan apresiatornya. Serta terjalinnya pengetahuan kolektif tersebut dengan ruang dialog sebagai refleksi-refleksi didalamnya, atau proses kognitif 2 arah. Seperti yang dilakukan komunitas Serrum, sebuah komunitas dengan fokus seni rupa dan pendidikan berbasis di Jakarta, Mereka menggunakan kerja partisipasi yang melibatkan murid SMA sebagai praktik kerjanya, Dalam salah satu projeknya yang dikerjakan pada tahun 2016 silam, mereka mempertanyakan kembali arti sekolah berdasarkan fisik, sistem dan budaya kepada murid-murid SMA, dimana dalam prosesnya murid-murid tersebut tersadarkan akan arti sekolah dan kembali mengevaluasi proses dan kondisi sekolah mereka kedalam diri mereka dan tentu saja proses reflektif kepada pihak sekolah. Dari hasil praktik tersebut, murid diajak untuk mepresentasikannya di depan teman-teman mereka dan hasil dari kerja partispasi tersebut disimulasikan menjadi sebuah presentaasi seperti diorama. Dengan begitu seni menjadi relevan berkembang di masyarakat Indonesia, melihat isu atau wacana sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan yang makin hari makin tidak menentu. Atau mungkin lebih lanjut lagi seni hadir sebagai pengurai permasalahan yang terjadi sekarang ini.
Daftar Pustaka
Griffin, Tim. “Worlds Apart : Contemporary Art, Globlaization and the Rise of Biennals.” In Contemporary Art 1989 to the Present, edited by Alexannder Dumbasde & Suzanne Hudson. West Sussex: Willy Blackwell, 2013.
Hodge, Susie. 50 Art Ideas. London: Quercus, 2011.
Moelyono. “Seni Rupa Penyadaran.” Gerak-Gerak Seni Rupa. Mei 13, 2013. https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/seni-rupa-penyadaran/ (accessed April 26, 2017).
Murtiningsih, Siti. Pendidikan Alat Perlawanan : Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist, 2004.
Olivia, Achille Bonito. Seni Setelah Tahun Dua Ribu. Vol. 1. Yogyakarta: Biasa ArtSpace Little Library, 2011.
Reucher, Gaby. Joseph Beuys — Artist Who Expanded Art’s Boundaries. Januari 23, 2006. http://www.dw.com/en/joseph-beuys-artist-who-expanded-arts-boundaries/a-1866423 (Diakses Mei 3, 2017).
Suryajaya, Martin. Sejarah Estetika. Jakarta: Penerbit Gang Kabel, 2016.
Underthebluedoor. Under The Blue Door. Maret 5, 2015. https://underthebluedoor.org/2015/03/05/every-human-being-is-an-artist-a-freedom-being-called-to-participate-in-transforming-and-reshaping-the-conditions-thinking-and-structures-that-shape-and-inform-our-lives-joseph-beuys/ (Diakses Mei 3, 2017).