Di tawari bergabung di Serrum
Tahun pertama kuliah, tentu saja nilai semesteran saya sangat berantakan, hal ini disebabkan karena cukup shock culture. Saat SMA, saya merasa cukup dikekang oleh aturan sekolah. Namun ketika masuk kuliah, saya justru menemukan banyak peluang untuk bereksplorasi. Minat saya terhadap musik-musikan sangat terfasilitas di semester pertama dan kedua. Ketika selesai perkuliahan, salah satu senior yang sedang nongkrong di depan gedung F (gedung jurusan kami) memanggil saya secara acak lalu saya menghampiri abang senior tersebut. Saya di tanya sukanya apa, suka musik-musikan atau tidak. Lalu saya menjawab iya saya suka ngeband dan suka bikin acara musik-musikan kecil di studio band teman saya dan saya menawari kalau mau menyewa sound system saya punya kenalan rental sound system dengan harga yang sangat murah. Dan gayung bersambut, abang tersebut yang bernama Ershad langsung menyetujui dan dengna beberapa senior lainnya menentukan waktu untuk acara musik-musikan. Sejak itu, acara apapun yang membutuhkan musik-musikan saya selalu ambil bagian dalam urusan tersebut.
Di saat beberapa teman-teman seangkatan saya sudah memulai untuk mengeksplorasi medium apa yang mereka akan tekuni dan pelajari, seperti beberapa teman yang sekarang mendirikan Grafis Huru Hara seperti Dhigel, Amy dan Bonit banyak belajar cukil kayu, lalu Haryo, Daniel dan Mamet karena mereka memiliki ketertarikan dalam melukis atau drawing. Sedangkan saya, belum tahu harus apa. Lalu saya mendengar apa itu zine. Saya mengajak salah satu teman yang memiliki ketertarikan terhadap sastra dan menulis yang bernama Angga Wijaya atau kita memanggilnya Ampyang, setelah berdiskusi kami memutuskan untuk membuat zine dengan nama Free Hard Zine, sebuah zine yang dicetak diatas kertas samson yang memuat musik, seni rupa, dan juga sastra (mungkin). Zine tersebut dibagikan gratis karena namanya dari zine tersebut Free dan nama Hard kami pilih karena menggunakan kertas samson, yang mana Samson merupakan tokoh yang kuat. Di cetak terbatas dan di bagikan di kampus dan luar kampus. Dari membuat zine tersebut saya belajar untuk melayout buku atau zine, saya menggunkan adobe ilustrator dan photoshop di mana saat itu peruntukan bukan untuk melayout dan tentu saja pada saat mencetak mengalami banyak kendala.
Setahun kuliah, tahun 2009 saya di tawari oleh seorang senior yang 6 tahun lebih tua dari saya angkatannya, yang mana juga sama-sama menyukai musik hardcore dan Strife sebagai band favoritnya menawari saya bergabung di Serrum. Sejak September 2008, beberapa bulan awal kami kuliah, kami mendapat undangan ke ulang tahun ketiga Serrum tanggal 17 September 2008. Saya tidak tahu apa itu Serrum, saat itu mereka menyebutnya dengan komunitas seni rupa. Saya dan beberapa teman datang ke sebuah rumah yang berjarak tidak jauh dari kampus, di sebuah gang kami memasuki rumah yang ramai dengan beberapa orang yang tidak begitu saya kenal. Saat memasuki rumah tersebut yang mereka sebut dengan Serrum, saya mendengar lalu dengan nada dan bahasa India, yang mana pada reff lagu tersebut menyanyikan Happy Birthday To You dengan nada yang sama sekali berbeda dengan lagu happy birthday pada umumnya, hingga hari ini lagu tersebut menjadi lagu wajib pada saat 17 September di mana Serrum berulang tahun. Sejak saat itu saya mengerti Serrum adalah komunitas seni rupa yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan bersama-sama.
Tawaran bergabung dengan Serrum muncul dari Sigit, seorang mahasiswa cukup senior saat itu yang mengambil mata kuliah komunikasi visual (salah satu mata kuliah dasar) bersama angkatan 2008. Karena dia duduk di belakang sama seperti saya maka dari itu kami saling berkenalan. Saat itu, Tawaran bergabung dengan Serrum diajukan oleh Sigit melalui Yahoo Messenger. Ketika mendapatkan tawaran tersebut saya sangat kaget dan binggung, karena saat itu saya tidak memiliki kemampuan dan minat apa pun dalam medium seni rupa. Saat itu kami menilai setiap anggota Serrum memiliki kemampuan dan keahliannya masing-masing. Sedangkan saya tidak memiliki keahlian apa pun, katanya saat itu pertimbangan Sigit adalah Serrum membutuhkan orang yang fokus di bidang sound dan ingin menginisiasi sebuah majalah, maka dari itu saya di tawari kesempatan tersebut. Tawaran tersebut juga di susul dengan ikut berkontribusi pada sewa rumah atau dengan kata lain patungan rumah sebesar Rp. 4,400,000,-/orang yang bisa di cicil 2 kali. Saya merasa tidak memiliki uang sebesar Rp. 2,200,000,- saat itu. Lalu saya menjawab akan saya pertimbangkan kepada Sigit.
Singkat cerita saya menceritakan tawaran tersebut kepada Ibu saya, saya menjelaskan apa itu Serrum dan bagaimana mereka bekerja, tanpa maksud apapun saya hanya menceritakan, lalu Ibu saya mengingatkan bahwa saya memiliki tabungan yang cukup untuk membayar patungan sewa rumah tersebut dan Ibu saya menyarankan untuk mengambil kesempatan tersebut. Lalu saya mengabari Sigit dan menerima tawaran tersebut tanpa ekspektasi apapun, hanya ingin belajar berkomunitas saja. Dan Sejak September 2009 setelah Serrum pindah rumah dari Jalan Sambiloto (rumah pertama Serrum) ke Jalan Kayu Manis 2 (rumah kedua Serrum).
Pelajaran pertama yang saya dapatkan di Serrum adalah pindahan rumah, selama saya hidup saat itu, hal tersebut merupakan kali pertama saya berpindah rumah. Menata sesuai dengan fungsinya, menyusun barang-barang dan furnitur dan juga membuat peraturan rumah tangga bersama. Karena kebanyakan dari kami saat itu (khususnya yang belum menikah) tinggal bersama di rumah tersebut, sehingga kami perlu memfungsikan salah satu ruang sebagai ruang tidur bersama dan ruang baju bersama.
Kurikulum di Kampus dan Di Serrum
Dengan niat belajar berkomunitas, Serrum secara tidak langsung membuat kurikulumnya sendiri yang dirancang khusus melalui individu yang ada di dalamnya. Setelah mendapat mata kuliah pindahan rumah, saya juga mendapat mata kuliah berinteraksi dengan orang yang 10 tahun lebih tua secara intens. Saat itu saya mendapat tanggung jawab untuk menjadi pimpinan redaksi sebuah inisiasi majalah gratis untuk anak SMA dengan nama Frenzy Magz. Sebagai orang yang belum memiliki pengalaman bekerja secara profesional saya belajar banyak sekali dari proyek ini. Belajar berkomunikasi, belajar kerja tim, belajar merumuskan konten majalah, belajar mencari sponsor, belajar memahami sponsor hingga belajar layout dengan adobe indesign.
Hingga lambat laun, saya memiliki ketertarikan terhadap video. Tahun 2010, setelah 2 tahun kuliah, di mana angkatan kami harus membuat dan memamerkan karya individunya, saya yang belum menentukan minat terhadap medium seni rupa yang akan saya pamerkan pun bingung. Di Serrum sebagai anak baru saya selalu memerhatikan dan duduk di sebelah anggota-anggota Serrum yang sedang beraktivitas, ada yang beraktivitas di depan komputer, ada yang beraktivitas di studio membuat macam-macam salah satu airbrush, ada yang beraktivitas di garasi untuk betulin motor yang sebenarnya tidak rusak, ada yang beraktivitas di depan TV sambil tiduran hingga tertidur, ada yang beraktivitas di dapur, hingga ada yang beraktivitas di ruang jemur pakaian, di mana ruang tersebut terdapat anjing kecil kami bernama Jack. Dalam kegiatan memerhatikan aktivitas-aktivitas tersebut saya selalu membuka obrolan dengan bertanya-tanya. Salah satu orang yang saya tanyai adalah Gunawan, saat itu Gun masih berstatus menjadi mahasiswa tapi dia sudah mengajar sinematografi di sekolah. Dia sedang mengerjakan editing video, saya memerhatikan dan banyak bertanya dari Gunawan.
Awal perkuliahan angkatan 2008 di mulai dengan Studium Generale oleh Krisna Murti tentang video art, sebagai anak baru seni rupa tentu saja bingung apa itu video art, seni lukis saja saya masih bingung saat itu, apalagi video art. Tapi hal tersebut memantik kesoktahuan saya terhadap video art, saya melihat peluang untuk mengeksplorasi video art untuk menampilkan karya saya di pameran angkatan. Dengan berbekal sedikit pengetahuan dasar dari Gunawan untuk editing video dan kamera saku milik bapak saya. Saya mencoba untuk membuat video art. Saya merekam teman-teman saya, baik teman SMP, SMA dan juga teman-teman di Serrum untuk bersiul di depan kamera saya, ekspektasi saya akan menghasilkan suara yang harmonis dari perpaduan dan komposisi siulan-siulan dari beragam teman. Namun apa daya, karena terbatas kemampuan teknis dalam editing dan juga kemampuan harmonisasi yang sama sekali tidak ada maka hasilnya cukup apa adanya tapi membuat saya puas dalam membuat karya tersebut. Setelah di pamerkan di pameran angkatan, karya tersebut saya ajukan untuk sebuah award di Bandung dan lolos 60 besar, Pada saat itu cukup memuaskan buat saya dan menambah motivasi saya untuk berkarya video.
Dari situ, saya merasa kurikulum yang dirancang secara tidak sengaja oleh Serrum kepada anggotanya membebaskan kita untuk memilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anggotanya. Dari situ saya dapat belajar videografi mulai dari perekaman hingga editing video. Dan membawa saya juga untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan komersial untuk membuat video-video kampanye beberapa NGO. Padahal tidak banyak pengalaman saya untuk membuat video-video tersebut, tapi kurikulum yang Serrum rancang secara tidak sengaja sangat menuntun dan menumbuhkan kodrat. Hal ini cukup berbeda dari apa yang saya dapatkan di kampus atau institusi pendidikan formal lainnya.
Tawaran cara pendidikan yang berbeda yang saya dapatkan di Serrum dari awal hingga hari ini, tawaran pengetahuan, tawaran pengalaman, tawaran paradigma, tawaran medan sosial, tawaran jaringan dan juga buat saya adalah tawaran identitas. Sebagai contoh yang cukup berbeda antara kurikulum sekolah seni formal dalam hal ini kampus dengan Serrum sebagai sebuah (saat itu) komunitas seni yang tidak di rancang sebagai lembaga pendidikan, tapi berhasil menawarkan cara kerja dan produk yang menghubungkan konteks individu dengan lingkungan sekitar. Saya merasa kerja-kerja yang sekarang di sebut kerja-kerja kolektif menumbuhkan semangat gotong royong dan loyalitas terhadap sesamanya, sesama internal Serrum hingga sesama anggota masyarakat. Di lembaga pendidikan formal mungkin kita dirancang dan di didik untuk mencapai hasil secara individual, tapi buat saya di Serrum tidak seperti itu. Sebagai contoh ketika saya mengerjakan sebuah pekerjaan komersial membuat video untuk sebuah NGO anti korupsi, dengan pengalaman yang minim jika bekerja secara individu akan sangat berat. Namun dukungan Serrum sebagai sebuah institusi atau lembaga yang menaungi hal tersebut bisa dihasilkan dengan cara gotong royong. Dan dari situ menumbuhkan sikap yang loyal terhadap institusinya.
Kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan komersial semacam itu tidak di fasilitasi (saat itu) di kampus, mungkin sekarang sudah ter fasilitasi dengan adanya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang salah satunya memfasilitasi mahasiswa/i untuk belajar dan berkegiatan di luar program studi sebagai bentuk pengembangan potensi dan kompetensi. Secara prinsip program ini sangat bagus dan progresif dan sama seperti apa yang saya alami saat kuliah, namun pada kenyataannya tidak berjalan seperti gagasannya, hal tersebut saya rasakan ketika saya melihat saat menjadi dosen. Buat saya poin utama yang hilang ada semangat atau ruh-nya yang cukup berbeda. Namun program semacam ini perlu di kembangkan dan di uji coba kan kembali di setiap tahunnya.