Titik Tolak Mengajar

Sejak tanggal 4 April 2022, satu hari setelah orang tua saya memperingati pernikahan yang ke 34 tahun, saya pertama kali ke sebuah universitas swasta di Kawasan Jakarta Timur yang bernama Kalbis Institute (saat itu). Disitulah hari pertama saya masuk sebagai dosen program studi desain komunikasi visual. Sedikit canggung tentu ada, tapi beberapa dari dosen program studi kami yang mengajar sudah saling kenal. Pak Bram yang mengajak saya menjadi dosen di Kalbis Institute. Dan hari itu juga saya bertemu dengan kepala program studi desain komunikasi visual yang bertama Pak Betha dan beliau memanggil saya masih dengan “mas”.

Penerapan paradigma student-centered learning.

Kesempatan mengajar di kampus ini saya terima setelah perenungan panjang, dengan mempertimbangkan nilai kebebasan intelektual, keterhubungan dengan praktik di luar kampus, serta keyakinan bahwa pendidikan seharusnya menjadi ruang yang membebaskan dan kontekstual. Setelah lulus program magister, saya juga mendapat kesempatan mengajar di kampus swasta yang cukup terkemuka. Namun saya tidak mengambil kesempatan tersebut karena tidak memperbolehkan pegawai penuh waktu untuk bekerja paruh waktu di tempat lain. Kala itu, Gudskul baru terbentuk dan saya telah bekerja selama sepuluh tahun di Serrum. Sebagai pengajar, saya merasa tidak sepakat dengan kebijakan tersebut karena gagasan seorang dosen adalah memfasilitasi mahasiswa/i untuk terlibat langsung dengan perkembangan dunia di luar kampus. Pembatasan seperti itu memperkecil kemungkinan untuk memfasilitasi hal tersebut.

Perenungan semakin menjadi, ketika Serrum Bersama Sanggar Anak Akar dan Erudio Indonesia di tahun 2020 memulai untuk mengembangkan model pembelajaran kontekstual yang berpusat pada murid ke beberapa sekolah di beberapa kota atau kabupaten di Indonesia. Model pembelajaran ini mengacu pada gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran di mana guru memfasilitasi murid untuk belajar sesuai dunianya, apa yang dia kehendaki sehingga murid tumbuh dengan kepekaan lingkungan sekitarnya dan mengenali dirinya dan lingkungannya. Model pembelajaran tersebut diterapkan untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas. Dengan alur yang cukup panjang karena tujuan modul pembelajaran ini tidak hanya murid melainkan ekosistem pendidikan, maka dari itu Presisi (Penguatan karakter siswa mandiri melalui kreasi seni) melibatkan banyak pihak seperti menyasar kepala sekolah untuk mendorong membuat kebijakan yang menuntut guru-guru memfasilitasi murid dalam kemerdekaan pembelajaran disekolah, mendorong perubahan peran guru yang tadinya dianggap sebagai pusat pengetahuan menjadi fasilitator, coach dan mentor, mengajak masyarakat yang diwakili oleh pelaku seni budaya dan kolektif-kolektif seni untuk menjadi fasilitator yang memfasilitasi murid dan guru belajar Bersama di luar sekolah. Karena model pembelajaran Presisi adalah pembelajaran berbasis proyek yang diartikulasikan dalam medium seni, di mana proses dan pengalaman dalam belajar sesuatu adalah hal yang sangat penting, maka dari itu kami berpikir keterlibatan pelaku seni budaya sangat diperlukan.

Dari pengalaman bersama Presisi dengan berinteraksi dengan guru-guru, kepala sekolah, murid, pelaku pendidikan dan juga pelaku seni budaya saya semakin banyak mendapatkan pemahaman tentang pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Dari interaksi tersebut saya mendengar keluh kesah guru dalam mengajar kepada murid, perihal administrasi guru yang sangat kompleks dan lainnya. Dari hal tersebut merefleksikan kepada diri saya tentang pengalaman mengajar saya di sebuah Lembaga pendidikan yang sangat minim. Saya hanya seniman yang bekerja bersama kolektif seni (Serrum) dengan fokus pendidikan dan seni rupa. Di Serrum kami banyak terlibat dalam kegiatan pendidikan, kami banyak membuat karya-karya seni dengan gagasan pendidikan, kami berkarya dan percaya proses penciptaan karya seni adalah sebuah proses belajar tapi bagaimana hal tersebut di terapkan dan diberikan dan diterapkan di Lembaga pendidikan formal. 

Pada akhirnya ini tantangan buat saya sebagai seniman yang percaya praktik dan proses artistic saya merupakan bentuk pembelajaran buat saya dan saya menantang kepada diri saya sendiri untuk bisa menerapkan hal ini di pendidikan formal dan saya memutuskan mengambil kesempatan yang di berikan oleh kawan saya Pak Bramanta untuk mengajar sebagai dosen tetap di Universitas Kalbis (pada tahun 2023 berubah menjadi universitas). Kesempatan tersebut saya ambil dengan menerapkan prinsip bahwa kelas menjadi laboratorium untuk mahasiswa/i belajar sesuai kehendak mereka yang berbasis pada praktik pengalaman saya sebagai seniman. Dengan kata lain, saya memadukan praktik artistik saya dengan praktik mengajar untuk memberi mahasiswa ruang dan referensi, bukan sebagai aturan, melainkan sebagai kemungkinan yang dapat mereka adaptasi sesuai dengan konteks mereka tentu saja dengan meniadakan hierarki pengetahuan.

Jadi ruang belajar dibangun untuk memfasilitasi mahasiswa/I menentukan, menggali potensi dan ketertarikan mereka sehingga membentuk inisiatif untuk “mengulik” hal tersebut yang menciptakan kesadaran dan pengetahuan. Karena hal tersebut yang saya alami dan refleksikan sejauh ini dalam praktik artistic saya, baik sebagai indvidu dan kolektif.

Pengaruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire: pendidikan sebagai pembebasan, dialog, dan ruang tumbuh subjek yang merdeka.

“Pendidikan harus dimulai dengan menyelesaikan kontradiksi antara guru dan murid, dengan mendamaikan kedua kutub kontradiksi tersebut sehingga keduanya secara simultan menjadi guru dan murid.” (Paulo Freire. Pedagogi Orang Tertindas, 1970)

Di Serrum kami percaya bahwa pengetahuan dimiliki oleh setiap orang dan pengetahuan tidak bersifat top-down dalam arti lain bersifat setara. Atau dalam gagasan seorang pedagog asal Brasil Paulo Freire yang menolak “model pendidikan bank” di mana guru sebagai pemilik pengetahuan murid tidak tahu apa-apa.  

Hal tersebut yang mempengaruhi dan memotivasi saya untuk mengajar, bagaimana praktik ini coba saya terapkan ketika mengajar dan bagaimana praktik ini coba saya praktikan ketika saya mengajar serta menjadi sebuah refleksi sebagai sebuah proses dalam mengajar. Mengajar bukan hanya mendiseminasikan pengetahuan yang dimiliki saja, tetapi mengajar buat saya adalah belajar dari mahasiswa/i. Belajar pengetahuan yang mereka produksi dari pengalaman mereka, belajar dunia mereka, belajar cara mengajar yang setara dan belajar untuk “mengakali” administrasi. 

Sejujurnya, sebagai seniman dan lulusan sekolah keguruan dan ilmu pendidikan saya juga tidak begitu banyak mengetahui apa-apa di kedua bidang tersebut. Berbasis pengalaman saya yang berpraktik  bahwa saya banyak belajar dari siapa pun dan dari mana saja. Hanya bermodal keingintahuan saja, yang menjadi motivasi besar untuk berpraktik dan mencoba, alhasil metode semacam itu yang ingin saya terapkan dalam saya mengajar, berbasis pengalaman berpraktik dalam kesenian, berbasis pengalaman merasakan pendidikan di mana guru menjadi pusat pengetahuan, di mana sekolah adalah tempat yang menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Maka dari itu salah satu motivasi saya mengajar adalah memfasilitasi mahasiswa/i untuk mengembangkan potensi, merawat keingintahuan dan juga menumbuhkan kesadaran.  Hal tersebut sejalan dengan kutipan “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Salah satu kutipan Ki Hajar Dewantara. 

Salah seorang kawan di Serrum bernama Arman pernah berpendapat bahwa pengetahuan merupakan singkatan dari “pengen ketahuan”, hal ini terdengar konyol dan terkesan memaksa, tetapi kami mengambil makna yang mendalam dari lontaran tersebut. Saya berpendapat bahwa, setiap orang mempunyai pengalamannya masing-masing dari pengalaman tersebut menghasilkan sebuah cara yang terus menerus digunakan dalam hidupnya dan ketika hal tersebut di bagikan berarti praktik “pengen ketahuan” diterapkan. Mungkin hal tersebut yang dilakukan oleh pemikir-pemikir terdahulu, sejalan dengan sintesis pemikiran KHD, di mana   Pendidikan yang memerdekakan harus memupuk budi pekerti dan memberi ruang untuk tumbuh kembang yang selaras dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

Dapat disimpulkan bahwa fitrah alami setiap manusia memiliki keunikan pribadi, minat, bakat, cara berpikir yang khas dan kodrat zaman yang berkaitan dengan konteks sosial, budaya, teknologi dan juga nilai-nilai zaman di mana manusia hidup. Hal ini tidak bisa di paksakan tetapi perlu di rawat kesadaran kritisnya agar menjadi manusia yang sesuai dengan zamannya. Sebagai pendidik, kita perlu menuntun pertumbuhan mahasiwa/i kita yang mana sesuai dengan konteksnya baik zaman ataupun alamnya.  

Kembali ketika saya pertama kali mendapat panggilan untuk interview dan microteaching oleh kampus. Dalam microteaching saya menyiapkan materi untuk mata kuliah nirmana tiga dimensi, yang merupakan mata kuliah dasar yang perlu menyajikan prinsip-prinsip dalam merancang bentuk tiga dimensi, mata kuliah dasar untuk mahasiswa seni rupa dan desain ini yang saya pelajari ketika menjadi mahasiswa hanya menyajikan hal-hal teoritis yang perlu di praktikan dalam merancang, mengasah kepekaan spasial dan rancang bangun serta ruang sehingga memberikan kesan yang ingin disampaikan pada rancangan kita. 

Materi yang saya siapkan mencakup beberapa poin, pertama saya mengajak mahasiswa/i untuk bisa memahami rasional dari belajar nirmana tiga dimensi. Sebagai seorang desainer makna yang mau disampaikan harus sesuai dengan konteks dari audiens atau sasaran dari penerimanya, audiens memiliki latar belakang budaya, pengalaman dan kondisi sosial tertentu. Agar pesan dari desainer sampai, perlu cara cerdas dan diperlukan kesadaran kritis dalam memahami konteksnya agar pesan yang ingin disampaikan di interpretasikan sesuai dengan audiens. Artinya, makna dalam desain bukan sesuatu yang otomatis berpindah dari desainer ke audiens. Ia lahir melalui proses interaksi antara pesan visual dan pemahaman audiens, yang sangat dipengaruhi konteks. Maka, desain harus cermat secara visual dan kontekstual agar efektif dalam komunikasi. 

Maka dari itu, kita perlu merasakan pengalaman spasial serta menyadari pentingnya kehadiran tubuh dalam memahami konteks apa pun. Saya mengajak untuk belajar untuk merasakan, karena kehadiran tubuh sangat membantu kita menangkap dan memahami pesan, kesan, serta makna dari sesuatu. Dari situ, kita bisa memperluas kemampuan dalam merancang komunikasi visual. Dalam salah satu slide, saya menampilkan gambar sebuah warung agen yang menata barang-barangnya dengan cara yang sangat khas. Tata letaknya padat, visualnya kaya: produk-produk digantung di langit-langit (sachet), ditumpuk dalam rak terbuka, dan disusun dalam kardus-kardus. Warna-warna mencolok seperti merah, kuning, dan hijau dari kemasan produk menciptakan suasana visual yang ramai dan menarik perhatian, namun tetap terasa “terorganisir dalam kekacauan”. Produk yang ditawarkan pun beragam, mulai dari makanan instan, kopi sachet, camilan, air minum, sabun, rokok, hingga kebutuhan harian lainnya. Sebuah kulkas display berdiri di tengah, menunjukkan pentingnya penyimpanan minuman dingin dalam iklim tropis. Bagi saya, ini adalah bentuk komunikasi visual yang sangat kontekstual, ekonomis, dan intuitif—sebuah praktik rancangan nirmana tiga dimensi yang hidup dan berkembang secara organik, tanpa perlu belajar di kelas.